Aksi ‘Bersama Cegah Stunting', Pemprov Jabar dan Danone Indonesia Kejar Target Penurunan Stunting 14 Persen Tahun 2024

- Selasa, 13 Juli 2021 | 15:22 WIB
Vice President General Secretary Danone Indonesia Vera Galuh Sugijanto, Aksi Bersama Cegah Stunting, Pemprov Jabar dan Danone Indonesia Kejar Target Penurunan Stunting 14 Persen Tahun 2024. BNP/Dok. Danone Indonesia
Vice President General Secretary Danone Indonesia Vera Galuh Sugijanto, Aksi Bersama Cegah Stunting, Pemprov Jabar dan Danone Indonesia Kejar Target Penurunan Stunting 14 Persen Tahun 2024. BNP/Dok. Danone Indonesia

Strategi Jabar Zero Stunting melakukan satu “Gerakan Masif” untuk mewujudkan prevalensi stunting pada tahun 2023 menjadi lebih kecil dari standar WHO (Stunting < 20%). Diantaranya kita sudah memiliki Pergub 107 tahun 2020 tentang penurunan stunting di Daerah Provinsi Jawa Barat selain itu ada juga kesepakatan bersama Pemprov Jabar dengan beberapa perusahan dalam rangka meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup di Jawa Barat melalui pencegahan stunting dan malnutrisi.

 

Vice President General Secretary Danone Indonesia Vera Galuh Sugijanto mengatakan “Untuk mencapai target penurunan stunting tersebut tidak bisa sendiri, namun dibutuhkan kolaborasi multipihak. Yang paling  penting adalah edukasi, karena kita butuh edukasi untuk merubah mindset, pola pikir dan juga gaya hidup masyarakat Indonesia. Melalui kampanye ‘Bersama Cegah Stunting’, kami mengintegrasikan berbagai program intervensi gizi spesifik dan sensitif pencegahan stunting Danone Indonesia untuk dapat diimplementasikan secara bersamaan,” jelas Vera Galuh Sugijanto.

 

Vera melanjutkan, “Sejak 2019, Danone Indonesia bersama Pemprov Jabar telah melakukan kolaborasi dalam upaya penanganan stunting pada 14 kab/kota prioritas di provinsi Jawa Barat. Upaya tersebut mencakup pemberdayaan kapasitas tenaga kesehatan dan kader posyandu, Puskesmas dan Rumah Sakit dalam hal edukasi pencegahan stunting, pendataan, monitoring, skrining gizi hingga evaluasi.” tambah Vera.

 

Prof. DR. Dr. Damayanti R. Sjarif, Sp.A (K), Ketua Pokja Antropometri Kementerian Kesehatan dan Dokter Spesialis Anak Konsultan Nutrisi & Penyakit Metabolik RSCM menyamakan persepsi dulu tentang definisi stunting. “Menurut WHO 2020, kondisi stunting adalah ketika panjang atau tinggi badan anak berada dibawah 2 simpang baku yang diklasifikasikan sebagai stunted dalam grafik WHO 2006, yang disebabkan oleh kekurangan gizi kronik. Kekurangan gizi kronik dapat merupakan akibat asupan nutrisi yang tidak memadai; misalnya karena kemiskinan, penelantaran atau ketidaktahuan, dan peningkatan kebutuhan gizi yang tidak terpenuhi akibat sering sakit misalnya diare kronik akibat sanitasi buruk, ISPA berulang akibat tidak diimunisasi, atau kondisi/penyakit tertentu yang memerlukan diet khusus misalnya bayi yang sangat prematur, alergi makanan, kelainan metabolisme bawaan, penyakit jantung bawaan, dan lainnya.”

 

“Tatalaksana stunting tentu saja disesuaikan dengan penyebabnya, Sebenarnya perawakan pendek merupakan pertanda terjadinya masalah kekurangan gizi kronik yang lebih besar yaitu menurunnya kemampuan kognitif serta meningkatnya risiko Penyakit Tidak Menular (obesitas, diabetes, penyakit jantung koroner, hipertensi dll) di usia dewasa. Kedua hal ini yang menentukan kualitas SDM suatu bangsa. Pelbagai penelitian menunjukkan bahwa stunting dapat menurunkan IQ sampai 20 poin, Penurunan kecerdasan ini masih mungkin dikoreksi sebelum usia 2 tahun, dibuktikan oleh beberapa penelitian bahwa kombinasi perbaikan asupan nutrisi yang disertai stimulasi dapat mengoreksi IQ yang sudah terlanjur turun sekitar 90%, tetapi jika pada usia 2 tahun tinggi badan masih dibawah -2 simpang baku maka akan sulit mengejar ketinggalan tersebut bahkan jika masih berada dibawah -3 simpang baku berisiko memerlukan pendidikan khusus. WHO menegaskan bahwa stunting sulit ditatalaksana tetapi pencegahan sangat dapat diupayakan,” jelas Prof. Damayanti.

 

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kekurangan asupan protein hewani (sumber asam amino esensial yang lengkap dengan bioavailabilitas tinggi) dalam MPASI anak berusia 6-24 bulan merupakan penyebab tingginya angka kejadian stunting di 49 negara. Sumber protein hewani adalah telur, ikan, ayam, daging sapi/kambing, susu termasuk Pangan untuk Keperluan Medis Khusus. Penelitian di Equador membuktikan bahwa konsumsi tambahan sebutir telur sehari selama 6 bulan dapat menurunkan stunting sekitar 47%. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh WHO juga menunjukkan bahwa intervensi segera pada seorang anak yang mengalami weight faltering (kenaikan berat badan per bulan dibawah standar) dapat mencegah stunting 34% di usia 1 tahun dan 24% diusia 2 tahun.

 

Prof. Damayanti menambahkan, “Berdasarkan bukti ilmiah diatas, dibuatlah strategi untuk menurunkan prevalensi stunting dan terpenting memberi kesempatan untuk mengoreksi kognitif sebelum 2 tahun dengan cara mensosialisasikan konsumsi protein hewani dalam MPASI anak 6-24 bulan dengan protein yang tersedia setempat dan terjangkau. Selanjutnya untuk mendeteksi weight faltering dilakukan pemantauan pertumbuhan di Posyandu serta dilakukan rujukan berjenjang ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi yaitu Puskesmas atau RSUD untuk mencari penyebab serta menatalaksana dengan tepat dan segera. Suatu sistem yang sudah ada sejak tahun 1980-an yang perlu diaktifkan kembali.”

 

Strategi ini juga diujicobakan di desa Bayumundu Pandeglang oleh Tim RSCM/FKUI  dengan dukungan Kementerian Desa Tertinggal dan Transmigrasi berhasil menurunkan angka stunting 8,4%, Jika ini diterapkan di semua desa di Jawa Barat rasanya target yang dicanangkan oleh Gubernur Jawa Barat mungkin terpenuhi. Kerjasama lintas sektor antara pemerintah, tenaga kesehatan, akademisi, sektor swasta, hingga masyarakat akan sangat berperan dalam membentuk sumber daya manusia Indonesia di masa depan. BNP/yur

Halaman:

Editor: Administrator

Terkini

X