INDRAMAYU - Sebagai salah satu etnis terbesar di dunia, etnis Tionghoa memang memiliki warisan sejarah yang cukup kaya. Pada masa perayaan tahun baru Imlek, biasanya 15 hari setelah perayaan imlek, warga keturunan tionghoa masih merayakan kirab Cap Go Meh sebagai akhir dari perayaan imlek tersebut.
sejak pagi hari, di sepanjang jalan Veteran yang berada di tepi sungai cimanuk dan biasa masyarakat Indramayu menyebut kawasan itu sebagai pecinan, sudah dipadati ribuan masyarakat yang ingin menyaksikan puluhan kelompok barongsai, liong, dan dewa-dewa kongcho dalam acara Kirab Cap Go Meh.
Meski acara ini merupakan warisan budaya bangsa Tinghoa, tapi antusias masyarakat pribumi juga tidak kalah seru. Mereka rela berdesakan hanya untuk melihat kirab tersebut.
Tepat jam 1 siang, seluruh warga tionghoa berkumpul di dalam klenteng Ang Tjeng Bio, Indramayu, tak banyak dari mereka memanfaatkan momen tersebut untuk sembahyang dan memanjatkan doa sebelum kirab dimulai. Tak lama setelah itu riuh alunan musik khas tionghoa mulai meramaikan halaman klenteng dengan lompatan lincah para pemain barongsai dan permainan liong yang mengarah keluar halaman klenteng munuju jalan raya.
Di antara riuh suasana tersebut sang pemimpin kiran mulai berlari keluar dengan mengibarkan panji yang menandakan sang dewa akan keluar dan keliling kota. Joli (Kereta tandu) berisi Taopekong atau dewa yang digotong warga mulai keluar satu persatu. Dengan irama dan tarian dari alunan musik tiongkok tersebut para pemanggul joli menari sambil berjalan dan menggoyang-goyangkan joli.
Cap Go Meh sendiri memiliki makna “hari kelima bulan pertama” yang berasal dari dialek hokkien yang berarti Cap (Sepuluh) Go (Lima) Meh (malam). Namun di Klenteng An Tjeng Bio, Perayaan Cap Go Meh ditunda dan digelar pada hari 20 karena bertepatan dengan ulang tahun dewa Lok Wa Ya (Dewa Kebajikan) yang berada di klenteng tersebut.
Bagi masyarakat tionghoa perayaan Cap Go Meh merupakan salah satu tradisi yang turun temurun harus digelar sebagai bentuk syukur atas rejeki yang diberikan penguasa dengan mengarak dewa keliling kota. BNP/Gilang Pratama